Home / Sorotan / Dugaan Sistem Korupsi Dana Desa di Halmahera Barat, Pola “Reindominisasi,” Pembiaran dan Relasi Kuasa

Dugaan Sistem Korupsi Dana Desa di Halmahera Barat, Pola “Reindominisasi,” Pembiaran dan Relasi Kuasa

Bagikan Berita

newsoneindonesia.com ||Halmahera Barat–Dana Desa yang semestinya menjadi urat nadi pembangunan perdesaan justru berubah menjadi ladang basah bancakan elite lokal.

Program yang digadang-gadang sebagai wujud desentralisasi fiskal demi kesejahteraan masyarakat ini, dalam praktiknya, terperangkap dalam jaringan kepentingan, pembiaran, dan simbiosis saling menguntungkan antara pelaku, penegak dan pengawas.

Berpindah dari satu kecamatan ke kecamatan lain, cerita yang kami temukan nyaris seirama dan seragam, proyek fiktif, mark-up anggaran, pembangunan yang tak sesuai spesifikasi, dan pertanggungjawaban yang hanya berhenti di meja sibuta dan si tuli.

Yang ironis, ini semua berlangsung di depan mata lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Halmahera Barat, dan lebih menyakitkan lagi, dengan seizin diam aparat penegak hukum, level kabupaten menjadi bisu.

Dugaan Korupsi Dana Desa di Halmahera Barat bukan sekadar praktik individual, tetapi produk dari sistem kebal yang disponsori secara struktural dan masif.

Di tengah maraknya dugaan penyimpangan di kalangan Masyarakat Desa Halmahera Barat, muncul satu lagi pola yang makin sering dibicarakan oleh para Keusyik, perangkat desa, dan bahkan pendamping teknis.

Ikut bimbingan teknis (Bimtek), yang digelar oleh lembaga vertikal penegak hukum seperti kejaksaan, diyakini menjadi semacam “asuransi informal” atau golden tiket agar terhindar dari jeratan hukum.

Tak sedikit kepala desa yang merasa lebih nyaman mengambil risiko korupsi asalkan sudah punya bukti pernah ikut Bimtek.

Ungkapan seperti “yang penting ada sertifikat bimtek dari ‘mereka’, pasti amanlah” beredar secara terbuka, menunjukkan betapa hukum telah diproduksi menjadi sekadar formalitas simbolik, bukan instrumen keadilan substantif.

Bimtek yang semestinya bersifat edukatif berubah fungsi menjadi panggung legitimasi sekaligus jalur negosiasi halus di ruang tertutup. Bukan hal yang tidak asing bila setelah mengikuti pelatihan semacam itu, kepala desa merasa cukup “bertemu jaringan” untuk mendapatkan akses perlindungan bagi mereka.

Praktiknya, hal ini bukan hanya menumpulkan fungsi edukasi Bimtek, tetapi juga membenarkan secara diam-diam bahwa hukum bisa dinegosiasikan selama punya akses ke aktornya dan kelebihan isi kantong pasti aman.

Inspektorat, Lembaga yang Impoten ke Atas, Tak Berhasrat ke Bawah

Nama Reinhard Bunga , salah seorang pejabat kunci di Inspektorat Halmahera Barat, begitu sering disebut dalam percakapan masyarakat ketika membahas kenapa banyak Keusyik korup tapi tetap aman.

Bukan sekali dua kali, melainkan menjadi semacam kredo, asal tahu jalur Reinhard Bunga urusan Dana Desa semua beres.

Pernyataan ini muncul berulang, dari sumber-sumber berbeda, di tempat berbeda, dengan pola cerita yang hampir serupa. Bahkan sebagian menyebut sebagai pola “Reindominisasi.

“Inspektorat semestinya menjadi garda awal dalam memastikan penggunaan anggaran negara berjalan pada jalurnya. Tapi di Halmahera Barat, fungsi itu tampaknya telah bergeser, dari pengawas, menjadi pelindung bagi Kades yang nurut.

“Kepala desa tidak perlu lagi gentar soal cek fisik proyek, karena mereka tahu, yang diperiksa hanya kertas bertulisan kosong.”

Audit pun seringkali berlangsung bukan di lokasi pembangunan, tapi di warung kopi atau kantor camat, seakan masalah desa bisa diselesaikan dengan secangkir kopi dan selembar kuitansi bernominal.

Keadilan yang Di bim sala bim, Ketika Penegak Hukum Malah Menjadi Penjaga Bukan Penegak.

Tak sedikit laporan dugaan korupsi Dana Desa yang diajukan oleh masyarakat atau Aktivis justru berhenti di jalan sunyi. Kalaupun diperiksa, proses hukumnya lamban, tidak transparan, atau bahkan tidak pernah terdengar lagi.

Beberapa Keusyik yang jelas-jelas dilaporkan dengan bukti permulaan kuat, hanya “dimintai keterangan”, lalu kembali menjabat seperti biasa.

Indikasi ini memperlihatkan bukan sekadar pembiaran, tapi juga kemungkinan kolusi. Hubungan patron-klien antara kepala desa dan oknum aparat penegak hukum membuka ruang bagi negosiasi hukum yang mengaburkan batas antara pelanggaran dan perlindungan.

Kejahatan anggaran menjadi bisa dinegosiasikan, bukan diproses. Akibatnya, masyarakat hanya melihat satu hal, hukum di Halmahera Barat tidak memihak kepada mereka.

Sistem yang Harus Dirombak Habis, Bukan Diperbaiki

Apa yang terjadi di Halmahera Barat bukan sekadar persoalan moral individu, tapi kerusakan sistemik yang melibatkan rantai aktor dari hulu ke hilir, dari perencana, pelaksana, pengawas, hingga aparat yang mestinya menegakkan hukum.

Ini bukan hanya soal Keusyik nakal. Ini tentang sistem yang memungkinkan mereka menjadi kebal akan hukum.

Reformasi tidak cukup dilakukan dengan imbauan atau pembinaan.

Diperlukan audit menyeluruh oleh lembaga independen, publikasi terbuka atas temuan audit, pengawasan berbasis partisipasi masyarakat, serta sanksi tegas terhadap aparat pengawas yang terbukti melindungi penyimpangan.

Karena jika tidak, Dana Desa akan terus menjadi mesin penghisap dana negara untuk segelintir elite lokal, sementara rakyat hanya menerima jejak-jejak korupsi yang disamarkan sebagai pembangunan.

Redaksi mencatat, sering kali, setiap kali muncul dugaan korupsi dana desa, para pemangku kepentingan cenderung mengaitkannya dengan konflik internal desa, seperti perebutan jabatan, rivalitas politik lokal, atau dendam lama.

Redaksi Newsoneindonesia.com berulang kali mencoba komunikasi tetapi sang Inspektorat melilih diam seakan tak ada jeritan masyrakat Desa Halmahera Barat, bahkan tidak bisupun menjadi bisu musiman, sampai ke tuli-tulian, namun perlu digarisbawahi, bahwa hukum seharusnya berdiri di atas peristiwa pidana, bukan diseret-seret oleh narasi kausalitas sosial yang bias.

Jika ada penyelewengan, maka itu harus diproses sebagai pelanggaran hukum, bukan hanya diperdebatkan sebagai konflik budaya atau internal belaka.

Jurnalis yang sehat lahir dari data yang jujur, kritik yang tajam, dan keberanian untuk menjawab.

Red.


Bagikan Berita
Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *